Lembaga Dakwah Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menggelar kajian tentang kesesatan ajaran Syiah. Kegiatan yang berlangsung di pelataran Masjid Nurul Irfan ini, menghadirkan pembicara dari Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Ustadz Fahmi Salim,MA.
Fahmi Salim menjelaskan bahwa perbedaan antara Sunni dengan Syiah bukanlah sekedar perbedaan dalam perkara fiqh, tata cara ibadah, atau persoalan cabang dalam agama. Namun, perbedaan antara sunni dengan syiah merupakan persoalan pada perkara ushul atau pokok agama, dimana perbedaan tersebut memiliki konsekuensi berbeda dalam penyikapannya.
“Bila kita berbeda dalam perkara fiqh atau cabang kita harus bertoleransi. Tapi, jika perbedaannya dalam masalah aqidah, kita tidak bisa mentoleransi,” jelas Wasekjen MIUMI ini saaat mengisi kajian bertema “Kok Syiah Bukan Islam?” di Jakarta, Selasa kemarin (10/92013).
Sebab menurut Fahmi, banyak perbedaan yang sangat mendasar antara ajaran Islam dengan Syiah. Untuk memahami hal tersebut, Fahmi membedah genealogis ajaran Syiah. Di dalam teks-teks ajaran Syiah sendiri, secara asal-asul mereka mengakui bahwa ajaran Syiah berasal dari Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan dijatuhi hukuman bakar oleh Ali Bin Abi Tholib karena mengajarkan penuhanan terhadap Ali. Kesimpulannya, Syiah bukanlah ajaran orisinal dari Rasulullah Shallahu alaihi wassalam.
“Mereka dengan sadar mengakuinya, dan itu diakui bukan dari kitab rujukan ahlus sunnah, tapi kitab rujukan mereka sendiri yaitu dari kitab Firaqu as-Syiah karya an Naubakti dan Rijal al Kasyi, dan ilallu as Syaroi karya Assoduq lengkap beserta sanad-sanadnya,” papar anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah ini.
Selain itu, pokok perbedaan Sunni-Syiah terdapat pada konsep imamah. Syiah meyakini imamah merupakan rukun iman dan islam. Konsep Imamah menjadi batasan seseorang itu menjadi kafir atau muslim, batasan muslim atau kafir bukan lagi diukur dari keyakinan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Tetapi, batasannya adalah percaya kepada Imamah Ali bin Abi Tholib beserta keturunannya atau tidak.
“Jadi, kafir atau Muslimnya seseorang ditentukan oleh sebuah aqidah politik yang dibungkus oleh teks-teks agama yang juga rapuh dan tidak ada dasarnya di dalam Islam,” beber Fahmi.
Konsep tersebut, kata Fahmi, akan berdampak pula pada keyakinan mereka tentang hari akhir dan alam akhirat. Di mana, Syiah menganggap seseorang ditentukan masuk neraka atau tidak karena keyakinannya tersebut kepada keimamahan Ali bin Abi Tholib.
“Dalam teks syiah di sebutkan bahwa seseorang walaupun pendosa dapat masuk ke dalam surga asalkan percaya dengan imamah. Sebaliknya, bila seseorang tersebut sholih namun, tidak percaya imamah dia akan masuk ke neraka,” tuturnya.
Kalangan Syiah juga bangga dengan julukan rafidah, yang berarti menolak Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Bin Khattab. Meskipun, pada masa kini julukan tersebut tidak sukai oleh kaum Syiah.
“Dulu ulama-ulama mereka bangga dengan julukan itu. Tapi, pada masa taqrib (pendekatan Sunni-syiah) mereka tidak suka. Karena dianggap sebagai fitnah,” ucapnya.
Lebih dari itu, pandangan lebih ekstrim pernah diutarakan oleh seorang ulama Syiah bernama Nikmatul Jazairi yang mengatakan bahwa tuhan dan nabi Syiah berbeda dengan nabinya Ahlus Sunnah. “Tuhan dan nabinya Syiah menurut mereka, bukanlah tuhan yang menjadikan Abu Bakar dan Umar sebagai Khalifah,” ucap Fahmi.
Dalam pemaparannya, Fahmi juga menjelaskan beberapa keyakinan sesat Syiah lainnya, seperti pandangan bahwa al Qur’an yang ada saat ini adalah palsu, pembolehan nikah mut’ah (kontrak), hubungan aqidah Syiah dengan beberapa keyakinan muta’zilah yang diadopsi oleh Syiah, dan pengkafiran mereka terhadap ummul mukminan Aisyah, serta kepada para sahabat Nabi.
“Kalau mereka tuduh orang-orang yang menentang Syiah sebagai Wahabi Takfiri, sebenarnya yang takfiri sejati itu adalah Syiah. Sebab, mereka mengkafirkan orang-orang terbaik di umat ini,” lontarnya.
Fahmi juga sempat menghimbau kepada peserta kajian yang umumnya didominasi oleh mahasiswa untuk semangat menimba ilmu agama, tidak hanya fokus pada bidang studi yang digelutinya. Sebab, tantangan umat Islam dikemudian hari semakin berat. Sementara itu, tanggung jawab perjuangan berada di pundak para kaum muda.
“Semua aliran pemikiran mengincar anak muda. Karena anak muda sudah biasa diajak berfikir,” ungkapnya.
Tidak berbeda dengan Syiah yang senang menyasar anak muda untuk direkrut, biasanya anak muda diiming-imingi pemikiran tentang revolusi dan pendekaan filsafat.
“Bagi anak muda yang semangat, biasanya suka ditawarkan pemahaman revolusi. Tapi, sebenarnya bukan revolusi Islam, revolusi Khomeini,”ujar Fahmi ketika diawal-awal kajian.
Selain itu, Fahmi juga menyarankan kepada peserta diskusi bahwa untuk memahami ajaran Syiah maka jangan membedahnya dengan pisau analisa sosial dan politik semata karena dapat mengecoh seseorang. Tetapi, pelajari dari sumber-sumber otentik ajaran tersebut.
“kalau saya menganalisanya langsung kepada teks-teks aidah dan keagamaan mereka. Karena, itulah yang manjadi keyakinan mereka,” tegasnya.
Kajian yang diikuti puluhan mahasiswa UNJ ini, juga diselingi oleh tanya jawab interaktif. Setelah sesi tanya jawab, tidak lama kemudia diskusi ditutup oleh moderator seiring hari yang semakin larut menjelang maghrib.
(kiblat.net)
Tag :
Syi'ar Dakwah
0 Komentar untuk "LDK UNJ Gelar Kajian Kesesatan Syiah"